Di sebuah desa kecil, hiduplah seorang ayah bernama Ramdhan bersama anak tunggalnya, Rafi. Setiap hari, Ramdhan berangkat sebelum matahari terbit. Ia bekerja sebagai kuli bangunan—membawa semen, mengaduk pasir, memanggul batu bata. Tangannya keras, kulitnya menghitam akibat matahari, dan bajunya selalu berdebu.
“Untuk apa Ayah kerja terus? Duitnya juga nggak seberapa,” kata Rafi suatu sore, dengan nada kesal. Ia remaja yang mulai beranjak dewasa, tapi lebih sering mengeluh daripada membantu.
Ramdhan hanya tersenyum kecil. “Ayah kerja bukan buat kaya, Nak. Ayah kerja supaya kamu bisa sekolah, biar hidupmu nanti nggak kayak Ayah.”
Namun, kata-kata itu hanya lewat di telinga Rafi. Ia sering merasa malu ketika teman-temannya menertawakan ayahnya yang berpakaian lusuh dan bersepatu bolong. Kadang, Rafi pura-pura tidak mengenal ayahnya ketika dijemput di depan sekolah.
Suatu malam, Ramdhan pulang lebih larut dari biasanya. Hujan turun deras, dan tubuhnya menggigil. “Maaf, Nak, Ayah telat. Ada kerja tambahan,” katanya sambil menyerahkan selembar uang lusuh untuk biaya sekolah. Tapi Rafi menepisnya dengan kasar.
“Sudah, Ayah simpan saja! Aku nggak butuh uang dari tangan kotor itu!” bentaknya.
Ramdhan terdiam. Hanya angin malam yang jadi saksi air mata yang ditahannya.
Beberapa hari kemudian, Ramdhan jatuh sakit. Paru-parunya lemah akibat terlalu sering menghirup debu dan bekerja di bawah panas terik. Ia tetap memaksa bekerja, karena Rafi akan segera ujian kelulusan. Namun suatu pagi, Ramdhan tak bangun lagi. Ia pergi dalam tidur—dengan tangan kasar yang masih menggenggam foto anaknya.
Ketika Rafi membuka dompet ayahnya di hari pemakaman, ia menemukan secarik kertas kusut;
“Kalau nanti Ayah nggak ada, jangan sedih ya, Nak. Cukup jadi orang baik, itu saja sudah cukup buat Ayah.”
Air mata Rafi pecah. Tangannya gemetar menyentuh foto itu. Ia menangis sejadi-jadinya di atas pusara sang ayah.
Kini, setiap kali melewati proyek bangunan, Rafi selalu berhenti sejenak. Ia memandangi para pekerja kasar dengan mata basah.
“Maaf, Yah…” bisiknya pelan, “Aku baru tahu, tangan yang paling kotor… ternyata tangan yang paling suci untuk anaknya.”
Berikan ulasan