Ramai membicarakan paham merah, paham kiri, atau yang biasa dituding komunisme jadi teringat saat di kampus. Kira-kira ketika saya memasuki semester VII di Universitas Bung Karno.
Sebagai kampus perjuangan, nama marxisme, marhenisme dan islamisme menjadi pembahasan kami mulai semester III sampai semester IX. Bukan mendoktrin, tapi kami diminta paham apa itu tiga aliran tersebut. Yang akhirnya dikenal menjadi nasionalis, agamais dan komunis (Nasakom).
Iya, paham itu yang membentuk Pancasila. Tapi, bukan setelah dibentuk harus ditinggalkan (kata yang itu). Paham itu utuh ada di Pancasila sampai sekarang. Bagaimana tidak, bapak bangsa Soekarno sudah mengukir Nasakom berdasarkan masukan gurunya Tjokrominoto.
Tau anda siapa Tjokromnioto. Nama lengkapnya Raden Hadji Oemar Said Tjokrominoto. Dia merupakan pendiri serekat islam. Yang juga guru Semaoen, Muso, Alimin yang beraliran Komunisme dan Kartosuwiryo yang beraliran Islamisme.
Baik, mungkin masih kurang referensi saya. Saya yakin semua orang pintar dan cakap itu mengenal sosok Datuk Tan Malaka. Figur paham komunisme di Indonesia yang mengaku beragama Islam saat berada di depan Tuhan. Dan mengakui seorang maxisme jika dihadapan massa (Harry A Poeze). Harry pun beranggapan Tan Malaka adalah sosok beragama Islam ambangan yang tak pernah salat lima waktu.
Tan Malaka, meski berpaham kiri dia menolak sistem yang dibangun PKI tahun 1926. Disitu juga dia keluar partai. Dan akhirnya membentuk partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) pada tahun 1948.
Saya senang membaca karya Tan Malaka kala itu. Jujur saja, yang paling masih membuat kepala saya pusing untuk memaknai karya terbesarnya dengan bukunya materialis dialektika dan logika (Madilog).
Buat saya semua referensi itu hanya ada di logika. Akal yang membentuk kita. Bukan lingkungan yang membentuk kita. Maksudnya, semua tergantung kita memaknai seperti apa kita bertindak. Tanpa logika tidak akan menghasilkan dialektika. (*)
Berikan ulasan