Malam itu, tidak ada yang berubah. Udara pengap, panas, hingga membuat kucuran keringat menetes setitik di tubuh. Kala itu, semua berjalan cepat.
Aku coba keluar rumah, dan mencari suasana baru. Biasanya aku duduk di pojok warung. Ternyata seperti biasa, setiap waktu aku pun mengamati pemuda yang duduk di bawah pohon tak jauh dari lokasiku.
Hampir setiap berkunjung ke warung, aku selalu melihat pemuda berpakaian rapih itu seorang diri. Tak ada teman yang menemani. Hanya sebatang cerutu dan susu racik kulihat ada di jari tangannya.
Lalu lalang kucing dan kicauan burung terus membuat suasana menjadi asri. Entah mengapa kehadiran pemuda dan kicauan burung itu membuat duniaku tak lagi sunyi.
"Gadis muda, maukah kau menemaniku bicara?"
Sontak terkejut, pemuda itu memanggilku? mungkin aku salah dengar. Kutengok sekelilingku tak ada orang lain, hanya penjual warung yang lalu lalang.
"Anda memanggilku?" tanyaku nada pelan.
"Iyah, kemarilah kau, maukah kau menemaniku bicara," tambah pemuda itu.
Perlahan aku pun mulai mendekati. Perasaan sedikit takut mulai merayat wajahku. Aku pun memberanikan diri duduk di dekatnya.
"Sepertinya kita senasib, duduk sendiri merenung sendiri," kata Pemuda itu sambil menghisap cerutunya.
Pipiku merona. Siapa sangka, ternyata pemuda itu juga memperhatikan kehadiran aku setiap saat. "Ya" Anggukku malu.
"Kau ingin menceritakan sesuatu, mungkin aku bisa membuatmu lega,"
Pemuda itu terkekeh. "Dari raut wajahmu sudah banyak bercerita. Tapi biarlah aku yang mengawali cerita, maukah kau mendengarkanku?
Palingan wajah pemuda itu menandai ingin sekali dia bercerita dengan masalahnya. Aku pun dengan cepat menanggukan kepala.
"10 tahun lalu, aku tidak pernah kekurangan. Aku selalu tercukupi, aku banyak dihargai orang, dan mereka ingin selalu berteman denganku tanpa pamrih,"
"Lalu? tanyaku tak sabar
"Roda kehidupan berputar, bisnisku hancur karena dimakan perkembangan jaman. Semuanya hanya cerita. Kau tahu? yang tersisa hanya semangatku.
"Bagaimana dengan istri anda? tanyaku heran
"Sekarang ini harta yang aku punya hanya istri dan anakku. Mereka dipaksa untuk mengerti atas kondisi yang sekarang aku alami,"
Jantungku berdebar, aku semakin penasaran dengan ceritanya.
"Tekadang semua teman yang aku kenal hanya membawa kepentingan. Mereka meninggalkanku karena merasa aku sudah tidak bisa diandalkan,"
"Buat apa anda setiap hari disini, menghabiskan waktu seharian, bukankah itu sia-sia?"
"Hampir semua orang berpikir demikian, tapi ini adalah caraku untuk menghabiskan waktu sendiri"
Sungguh malang, "Untuk apa anda melakukannya, sedangkan anda terus mengeluarkan uang"
"Tidak ada lagi caraku menghabiskan waktuku. Hanya duduk ditemani cerutu ini"
Medengar ceritanya aku pun terkesima. "Lalu uang untuk membayar semua ini...?
"Kau heran darimana aku mendapatkan uang itu, kau benar aku tak punya uang, seseorang selalu mengirimkan uang padaku, dengan nama yang berbeda-beda, hanya Tuhan yang tahu siapa dia. Seandainya aku bertemu, aku akan berterimakasih padanya"
Tak terasa air mataku mengalir. Aku mulai terisak. Kisah hidup pemuda itu sangat memilukan.
"Sudahlah jangan menangis. Nah sekarang giliranmu, ceritakan kisahmu"
"Tidak," aku sungguh tak punya apa-apa untuk diceritakan.
"Kuharap, lain kali kau mau bercerita" tatap pemuda itu. "Tapi tanpa kopi dan susu, karena ini adalah uang terakhirku untuk membayarnya, aku tak terima kiriman lagi"
"Maaf aku harus pergi" sambil menghapus air mataku dengan lengan baju.
Saat aku berpaling, pemuda itu melambaikan tangan dan senyum. Seandainya dia tahu orang yang telah mengirimkan uang selama ini adalah bos-ku, yang sekarang sudah menemukan kepentingan yang lain.
Berikan ulasan