Dalam sebuah diskusi virtual bertema ‘Menyoal RUU tentang Pemilu dan Prospek Demokrasi Indonesia’ muncul pertanyaan apakah demokrasi yang kita laksanakan sudah sejalan dengan sila keempat Pancasila? Apakah Pemilu telah menghasilkan anggota legislatif yang sesuai dengan harapan rakyat?
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva menyebut politik kita sudah sangat liberal jauh dari falsafah Pancasila dan melenceng dari cita-cita pendahulu bangsa. Merunut pada pemikiran ‘the founding fathers’ Soekarno dan Hatta, sejatinya demokrasi kita lahir dari perlawanan terhadap imperialisme yang bermuatan kapitalisme dan sekularisme.
Dahulu Mohammad Hatta menyebut istilah ‘demokrasi manipulatif’ yang mengatasnamakan rakyat tetapi justeru menguntungkan kalangan borjuis. Bung Karno pernah mengatakan ada parlemen tapi tidak membawa keadilan bagi rakyat. Demokrasi seharusnya tidak memisahkan antara politik dan ekonomi sebagai kesatuan yang utuh. Keduanya saling berkaitan erat guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sinyalemen para pendiri bangsa yang cemas dengan munculnya oligarki dalam demokrasi saat ini makin terasa. Hubungan politik dan ekonomi tercermin sangat jelas dalam Pancasila, yakni sila keempat yang berbunyi; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan sila kelima yaitu; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Realitas demokrasi kita semakin jauh dari amanat dasar negara yang menyatukan politik dan ekonomi. Sistem pemilu yang memberikan kebebasan kepada parpol dan caleg di internal parpol dalam satu dapil saling berkompetisi, memaksa untuk mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya sebagai amunisi dalam merebut suara rakyat.
Upaya mengumpulkan kapital, baik secara perorangan maupun kolektif untuk menarik investor atau bandar tak bisa dihindari. Dampaknya terjalin simbiosis antara politisi dengan pemodal sehingga kepentinagn rakyat malah terabaikan. Dominasi kepentingan mempertahankan kekuasaan bagi politisi dan kepentingan pemodal membesarkan usahanya.
Kondisi seperrti ini harus disadari oleh semua pihak untuk segera melakukan perbaikan dalam menata demokrasi agar tidak semakin terpuruk. Pembahasan rancangan undang-undang pemilu sepatutnya dapat meluruskan kembali hakikat demokrasi agar sesuai dengan haluan dasar negara yang telah disepakati.
Semestinya semua permasalahan yang muncul dalam praktik demokrasi sudah bisa teridentifikasi. Kesadaran dan kolaborasi dari semua elemen bangsa sangat diperlukan untuk mencari solusi. Beberapa catatan yang harus dilakukan untuk mewujudkan demokrasi substansial sesuai nurani rakyat.
Pertama, Membangun partai politik yang sehat. Partai politik sebagai instrumen demokrasi seharusnya dikelola dengan profesional dan modern. Manajemen pengelolaan parpol yang modern harus berlandaskan ideologi partai politik yang jelas.
Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan; Partai Politik adalah organisasi yang sifatnya nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan Negara. Parpol berkewajiban memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Parpol harus melakukan fungsi rekrutmen dan kaderisasi yang baik dan berjenjang, bukan hanya merekrut anggota dan caleg secara instan menjelang pemilu. Parpol ibarat sekolah menjadi tempat bagi kader dididik dan dilatih menjadi calon pemimpin. Parpol mempunyai standar yang baku, kapan seorang kader pantas dicalonkan menjadi kepala daerah atau anggota legislatif.
Saat ini masyarakat masih menggantungkan pilihan kepada figur karismatik sebagai pimpinan parpol. Perekrutan anggota partai politik mesti mengedepankan etika moral dan berintegritas karena sebagai tahapan perekrutan calon pemimpin negara.
Kader digembleng untuk bertugas menyebarkan ideologi partai, mendiskusikan isu-isu terkini dan memobilisasi dukungan agar masyarakat memilihnya. Parpol yang profesional dan sehat mempunyai sumber pendanaan yang memadai dan transparan sehingga memiliki kemandirian dalam menyuarakan aspirasi masyarakat.
Kedua, Menerapkan sistem pemilu yang hemat. Sistem pemilihan umum merupakan metode yang mengatur serta memungkinkan warga negara memilih atau mencoblos para wakil rakyat. Kita mempunyai pengalaman menggunakan sistem proporsional daftar tertutup pada pemilu masa orde baru dan sistem proporsional terbuka di era reformasi. Harus diakui bahwa setiap sistem mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Sistem proporsional tertutup membuat elit parpol memiliki kuasa untuk menentukan kader menempati nomor urut jadi. Sistem ini memberi peluang munculnya oligarki di tubuh parpol tetapi mampu menekan biaya politik lebih rasional. Sistem proporsional daftar terbuka menyulap pesta demokrasi seperti pasar bebas tanpa batas.
Caleg yang mempunyai sokongan dana tak terbatas memiliki peluang terpilih lebih besar. Sistem proporsional terbuka dianggap mampu mendekatkan pemilih dengan wakil yang dipilihnya. Namun yang mengkhawatirkan model ini hanya menguntungkan para bandar atau pemodal serta menyuburkan praktik politik uang ditengah masyarakat.
Banyak varian sistem pemilu, kita harus mempertimbangkan pilihan yang paling efisien dan efektif dalam pelaksanaan. Prinsipnya pemilu harus memberikan jaminan bagi pemilih dapat menggunakan hak pilihnya dengan lebih mudah dan sederhana.
Ketiga, Memastikan rakyat yang berdaulat. Demokrasi modern menempatkan rakyat sebagai aktor kunci pembangunan. Bukan malah dimarjinalkan sebagai pemanis polesan gincu demokrasi prosedural. Rakyat menjadi subjek dalam praktik demokrasi yang sebenarnya bukan sekedar obyek semata.
Demokrasi dengan semangat ‘one man one vote’ menegaskan bahwa rakyat yang menjadi tuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem demokrasi yang menganut paham pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat selayaknya tercermin nyata dalam setiap perumusan kebijakan publik.
Penyelenggaraan pemilu sebagai implementasi kebijakan kebebasan, keadilan dan kesetaraan adalah ruang bagi rakyat dalam menentukan jalannya pemerintahan. Pemilu menjamin kedaulatan rakyat benar-benar terwujud dalam pengelolaan negara yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Bung Hatta menyebut bahwa demokrasi dapat berjalan baik apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi pada diri pemimpin politik. Tanggung jawab dan toleransi elite adalah energi terpenting demokrasi yang harus terjaga dan tidak boleh melemah. Tantangan demokrasi adalah mengembalikan keduanya untuk memulihkan kedaulatan rakyat agar esensi demokrasi bukan sekedar kontestasi berebut kekuasaan.
Pemilu merupakan sarana mengamalkan sistem demokrasi yang menjadi pilihan dan disepakati para pendiri bangsa. Pemilu bukan sekedar demokrasi prosedural tetapi harus diartikulasikan secara subtansial dan konsisten sebagai bukti pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Regulasi pemilu yang simpel dan sederhana akan lebih baik karena sejatinya demokrasi bukan sekedar kata-kata. Demokrasi dalam koridor Pancasila adalah selalu mengutamakan kepentingan rakyat sebagai pewaris tunggal negara dan bangsa Indonesia.**
Berikan ulasan