Bekasi – Sebuah proyek dengan nilai kontrak lebih dari Rp 1 miliar di Margahayu, Kecamatan Bekasi Timur, kembali membuka mata publik soal lemahnya kualitas pembangunan infrastruktur di Kota Bekasi. Proyek konsolidasi pemeliharaan saluran drainase Paket 18 yang dikerjakan oleh CV. Banjar Sagu-Sagu, sejak awal pelaksanaan sudah menunjukkan gejala kegagalan.
Hasil temuan di lapangan memperlihatkan sederet kesalahan fatal. Banyak uditch yang retak saat dipasang karena material yang digunakan diduga belum cukup umur alias belum benar-benar kering. Lebih jauh lagi, pemasangan dilakukan tanpa lantai dasar yang seharusnya menjadi fondasi utama, sehingga rawan amblas dan bergeser ketika dialiri air.
Tak berhenti di situ, sisi kiri-kanan uditch hanya ditutup dengan tanah bekas galian, bukan tanah pilihan yang dipadatkan sesuai standar teknis. Praktik ini jelas melanggar kaidah konstruksi dasar dan berpotensi membuat struktur cepat rusak.
Celakanya, para pekerja pun tampak bekerja tanpa standar keselamatan kerja (K3). Ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan cermin dari lemahnya tanggung jawab kontraktor terhadap nyawa pekerja.
Menurut Fari Rangga dari LSM KAMPAK RI, proyek ini sudah jelas menunjukkan adanya pembiaran.
“Ini bukan sekadar kelalaian teknis, tapi pengkhianatan terhadap amanah anggaran publik. Uditch yang retak, pemasangan tanpa lantai dasar, penimbunan pakai tanah bekas, pekerja tanpa K3—semuanya menunjukkan pola kerja yang sembrono dan tidak profesional. Pertanyaannya, di mana pengawasan dinas? Jangan-jangan memang ada pembiaran,” tegasnya.
Publik pantas marah. Bagaimana tidak? Proyek senilai miliaran rupiah yang dibiayai dari DBH, DAU, dan PAD justru diperlakukan seolah proyek murahan. Dana rakyat yang seharusnya menghadirkan infrastruktur kokoh dan bermanfaat, malah dikelola dengan cara serampangan.
Warga sekitar pun mulai khawatir. Alih-alih menyelesaikan persoalan banjir, drainase yang dipasang dengan kualitas rendah ini dikhawatirkan akan cepat jebol. Pada akhirnya, masyarakatlah yang akan kembali menanggung kerugian, sementara kontraktor sudah lebih dulu menikmati anggaran.
Fenomena ini menunjukkan ada yang salah dalam pola kerja pembangunan di Bekasi. Jika sejak awal proyek sebesar ini dikerjakan tanpa standar, maka bukan mustahil kualitas infrastruktur lain pun mengalami hal yang sama. Publik menunggu, apakah Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Bekasi akan menindak, atau justru kembali menutup mata.
Berikan ulasan