Pakde JO,
Ada banyak persoalan yang menjadi topik hangat bahkan memanas di keseharian masyarakat kita. Urusan remehtemeh, ramahtamah, hamakemarahan dan maha-amarah seliweran yang terlihat tanpa kendali. Lalu dalam sudut pandang apologi; apakah ini kelumrahan yang bisa dicirikan demokratis (?), atau budaya kebablasan dari pilihan kita berdemokrasi (??).
Yang selalu menyembul ke permukaan adalah polarisasi politik sebagai potret residu politik. Isu dibangun sedemikian rupa hingga menimbulkan kegaduhan yang tak ada jedahnya. Seperti gelombang -amplitudo politik yang paling tak memiliki ukuran- (!).
Pakde JO,
Diammu dianggap plongaplongo, tetapi marahmupun dipersoalkan -ingat opini marah pakai teks- dan lusinan wacana menghiasi ruang publik. Sangat remehtemeh bukan (?). Ini hanya episode dalam skala kecil ketimbang serangan membabibuta soal RUU-HIP yang didomplengi isu klise soal komunisme, PKI dan segala anasirnya. Padahal ini juga remehtemeh dalam benak saya (!).
Pandemi masih menjadi prioritas utama untuk diselesaikan. Proyeksi negara akan memproduksi vaksin di rahun 2021 belum mampu menciptakan ketenangan khalayak. Statistik positif terus merangkak naik, tapi sikap abai publikpun menurut saya belumlah menunjukkan kita memiliki kehendak yang sama memerangi covid19 dengan rasa bersatu, sikap yang sama dan citacita terbebas dari pandemi ini dengan kemenangan.
Negara sudah hadir (!). Semua energi negara sudah dikerahkan untuk menjadikan jaring pengaman penyelamatan rakyat dari pandemi korona dan dampak ekonomi sosialnya. Tapi itu belum cukup untuk melekatkan kembali kohesivitas kita sebagai bangsa dan entitas yang memiliki apirit senasib sepenanggungan.
Aksi massal masih terus didengungkan dengan tuntutan yang rasional dan mendasar atau sebatas memuncratkan syahwat perlawanan kepada rejim hari ini dengan isu yang samar dan dangkal. Acapkali hal ini sudah mendelegasikan betapa hirukpikuk lebih diutamakan oleh pihak yang terlanjur mendirikan panggung ekspresinya.
Kebocoran data seorang pegiat sosial media sekelas Dany Siregar oleh pegawai outsourching Telkomsel saja begitu banyak narasi yang saling menegasikan persoalan utamanya. Belum lagi soal Jiwasraya, Joko Chandra -sekalipun negara mampu mengembalikan pembobol BNI Maria Paulina Lumowa yang 17 tahun buron-, postur anggaran negara dalam penanganan pandemi korona, soal UU Cipta Kerja, Omnibus Law, kedatangan TKA asal Cina, hingga pengangkatan Prabowo sebagai leading sector lumbung pangan nasional.
Apa rumusan strategismu Pakde JO (?).
Diluar konsentrasi penanganan korona, perlu segera dibuat keseimbangan sebagai pemulihan sosial ekonomi nasional yang bertumpu pada good will dan political will. Sebab semua policy atau kebijakan apapun yang Pakde JO keluarkan akan berhadapan dengan amplitudo politik.
Saya selalu mengingat sebuah muatan mendasar dari leadership yang Pakde JO anut, yaitu kepemimpinan adalah ketegasan tanpa ragu (!). Inilah yang membuat Pakde JO sepertinya mampu menyelami suasana batin rakyat banyak -bukan segelintir kelompok-.
Optimismemu itulah modal terhebat dari serangkaian kebijakan yang radik atau mendasar, bukan disamarkan.
"Perlu saya ingatkan bahwa mimpi-mimpi besar hanya bisa terwujud jika kita bersatu! Jika kita optimis! Jika kita percaya diri!". Inilah semangatmu Pakde JO (!).
Pakde JO,
Saya hanya mengingatkan, seperti yang ditulis Friedrich Nietzsche, "Kadang-kadang orang tidak ingin mendengar kebenaran karena mereka tidak ingin ilusi mereka dihancurkan". Artinya gelombang optimismu akan selalu berhadapan dengan amplitudo perlawanan kaum halu di negeri ini.
Hen Eska
Spidolmerah.red
Berikan ulasan