Wacana normalisasi jadwal pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) semakin menguat seiring pembahasan rancangan undang undang (RUU) Pemilu di parlemen. Sejumlah anggota DPR menyuarakan sikapnya mendukung penyelenggaraan Pilkada sebelum tahun 2024 bagi daerah yang menggelar pilkada terakhir pada tahun 2017 dan 2018.
Pasalnya, sesuai regulasi yang termaktub dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 secara eksplisit disebutkan jadwal pelaksanaan pilkada serentak pada November 2024. Pasal 201 ayat (8) berbunyi; Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Kita dapat membayangkan begitu gegap gempitanya bila pada tahun 2024 diselenggarakan pilpres, pileg dan pilkada secara bersamaan. Misalkan pada bulan April 2024 berlangsung Pemilu Nasional untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPD RI, anggota DPR RI dan DPRD di seluruh Indonesia.
Lantas pada bulan November 2024 kembali digelar Pemilu Daerah untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota. Maka, tahun 2024 akan menjadi tahun politik yang penuh hiruk pikuk. Konsekwensinya beban penyelenggara, peserta dan pemilih makin berat dengan resiko yang tidak ringan.
RUU Pemilu draft pemutakhiran 26 November 2020 menyebutkan skenario Pemilu Daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2027, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali (Pasal 734 ayat 1). Sedangkan pemilihan kepala daerah serentak masih akan dilaksanakan pada tahun 2022 dan 2023 (Pasal 731).
Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Badan Legislasi DPR pada 19 Januari 2021, Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini mengusulkan untuk menggabungkan hajatan pilkada tahun 2022 dan 2023 agar dilaksanakan serentak pada bulan Juni 2022 atau Pebruari 2023 dengan mempertimbangan daya dukung anggaran dan regulasi.
Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia menargetkan RUU Pemilu bisa selesai paling cepat pada pertengahan tahun ini sehingga bisa diimplementasikan pada gelaran Pilkada tahun 2022. Sejumlah fraksi di DPR berpandangan normalisasi pelaksanaan pilkada sangat beralasan demi menata jadwal pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah di masa mendatang.
Kabupaten Bekasi, Kota Cimahi dan Kota Tasikmalaya terakhir mengadakan pilkada pada tahun 2017. Karenanya, tiga daerah tersebut dijadwalkan menggelar Pilkada pada tahun 2022 bersama dengan 98 daerah lainnya di Indonesia. Sementara sebanyak 170 daerah akan melaksanakan pemilihan kepala daerah pada tahun 2023.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bekasi sudah melakukan persiapan dengan menyusun rencana anggaran pilkada. Melakukan pertemuan dengan Bupati Bekasi dan DPRD untuk membahas langkah-langkah antisipasi jika pelaksanaan pilkada diselenggarakan sebelum tahun 2024. Secara tersirat Pemerintah Daerah sudah menyatakan kesiapan untuk mengalokasikan anggaran guna membiayai pilkada mendatang.
Sekedar mengingatkan pada Pilkada Kabupaten Bekasi tahun 2017 diikuti oleh lima pasangan calon (sesuai nomor urut) yaitu; (1) Meilina Kartika Kadir dan Abdul Kholik diusung oleh PDI Perjuangan, PKB, PPP, dan PBB, (2) Sa’dudin dan Ahmad Dhani diusung PKS, Gerindra, dan Demokrat, (3) Obon Tabroni dan Bambang Sumaryono (perseorangan), (4) Iin Farihin dan KH. Mahmud Al Hafidz (perseorangan), (5) Neneng Hasanah Yasin dan Eka Supria Atmaja yang diusung Partai Golkar, PAN, NasDem, dan Hanura.
Ketentuan tentang syarat pencalonan dalam pemilihan kepala daerah telah diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 pasal 40 ayat (1) yang berbunyi; Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perawakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.
Jika merujuk pada ketentuan tersebut, berdasarkan hasil perolehan kursi DPRD Kabupaten Bekasi pada Pemilu 2019, maka terdapat dua partai politik yang dapat langsung mengajukan pasangan calon tanpa harus berkoalisi. Seperti diketahui hasil Pemilu 2019 DPRD Kabupaten Bekasi sebagai berikut; Partai Gerindra mendapat 11 kursi, PKS (10), Partai Golkar (7). PDI Perjuangan (7), Partai Demokrat (6), PAN (3), PPP (2), Partai Nasdem, PBB, PKB, serta Partai Perindo masing-masing meraih satu kursi.
Sedangkan bagi calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati jika memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap di daerah bersangkutan pada pemilihan umum atau Pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan dengan jumlah yang telah ditentukan.
Pasal 41 ayat (2) huruf (d) menyebutkan; kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam koma lima persen). Jumlah dukungan tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.
Pada Pemilu 2019 jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di Kabupaten Bekasi sebanyak 2.054.407 orang. Sehingga bagi pasangan calon yang ingin mendaftar sebagai calon Bupati dan calon Wakil Bupati harus mempunyai dukungan minimal sejumlah 133.537 orang yang dibuktikan dengan dokumen kependudukan (e-KTP).
Kontestasi pilkada Bekasi semakin dekat jika akhirnya DPR menyetujui RUU Pemilu dengan normalisasi jadwal pilkada. Partai politik mulai saat ini dapat melakukan penjaringan dan menyeleksi bakal calon kepala daerah yang mumpuni dan memiliki kapasitas sebagai seorang pemimpin. Budaya politik mahar sebaiknya dihindari agar tidak membebani calon kepala daerah yang ingin berderma bakti membangun Bekasi.
Figur-figur terbaik bakal calon Bupati dan calon Wakil Bupati Bekasi memiliki waktu yang memadai untuk membangun komunikasi politik demi memuluskan jalan pencalonan. Gagasan dan pikiran disosialisasikan kepada khalayak sebagai bentuk uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) sekaligus komitmen kepada publik.
Warga masyarakat mulai saat ini dapat mencermati rekam jejak (track record) para bakal calon dengan parameter yang rasional dan terukur. Pada saatnya nanti ketika harus memilih di bilik suara, pemilih yang cerdas akan mermpertimbangkan hal-hal berikut ini:
Pertama, anti money politic yakni pemilih yang menentukan pilihannya tidak karena motif imbalan materi atau menerima suap sejumlah uang atau pun bentuk material lainnya dari pihak atau paslon tertentu. Namun, pilihannya didasarkan atas ketajaman dan kejernihan hati nuraninya.
Kedua, tidak asal pilih, yakni konstituen dalam memilih calon pemimpin daerahnya tidak sekedar menggugurkan hak/kewajibannya sebagai warga daerah. Tapi memilih secara bertanggung jawab, maknanya calon pemimpin yang akan dipilih sudah diperhitungkan dengan matang, serta diyakini mampu membawa kemajuan, kemaslahatan dan kesejahteraan bagi daerahnya.
Ketiga, visi, misi dan platform yang diusung partai/koalisi partai dan calon kepala daerah, menjadi pertimbangan utama untuk memutuskan pilihan. Hanya calon kepala daerah yang memiliki visi dan misi yang realistis dan 'membumi' yang dipilih. Karena tipologi calon seperti itu biasanya akan menghindari jebakan janji-janji politik yang berlebihan serta abai terhadap realitas di lapangan.**
Berikan ulasan