Bandung_Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memberhentikan Ketua KPU RI, Arief Budiman dari jabatannya memicu tanggapan dari berbagai kalangan.
Hal tersebut mengemuka dalam Diskusi Reboan PTUN Bandung seri-10 yang bertajuk “Prospek Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam sengketa Pilkada/Pemilu”, melalui aplikasi zoom, Rabu (20/1/2021)
Ketua PTUN Bandung, Andri Mosepa menyebut bahwa perlu penataan ulang terhadap lembaga-lembaga yang saat ini memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa pilkada dan pemilu.
“Dengan berbagai macam kewenangan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tersebut seperti kepolisian, Bawaslu, DKPP, PTUN, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, maka penegakan hukum pemilu menjadi carut marut, tidak efektif dan saling tumpang tindih” jelasnya.
Andri Mosepa berharap RUU Pemilu yang sedang dibahas oleh DPR mengatur lembaga yang terlibat dalam penegakan pemilu agar bekerja secara efektif dan lebih sederhana.
Menurutnya, Peradilan Tata Usaha Negara masih memiliki prospek dalam penyelesaian sengketa di Pilkada dan Pemilu.
Penasehat Perludem, Titi Anggraini dalam diskusi tersebut mengkritik pola pengujian pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Menurut Titi Anggraini seharusnya pengujian etika di DKPP murni berbasis pengujian etika saja.
“DKPP tidak perlu ikut menguji materi tentang penerapan hukum, termasuk menguji hukum administrasi karena khawatir terjadi hukumisasi etik” ujarnya.
Titi Anggraini berpendapat agar tidak ada kekuasaan yang absolut maka produk DKPP bukan berupa Putusan tapi Keputusan, dan bisa langsung diajukan upaya hukum ke PTUN.
Ketegasan soal upaya hukum ini sangat diperlukan sebab ada pandangan salah kaprah bahwa melakukan upaya hukum ke PTUN adalah bentuk pembangkangan, padahal hal itu dijamin dalam Putusan MK No. 31/PUU-XI/2013.
Titi mengharapkan agar RUU Pemilu harus tegas mengatur bahwa soal etik adalah sebatas etik dan bukan mencampuri masalah administrasi kepemiluan.
Sementara itu Hakim PTUN Bandung, Irvan Mawardi menyampaikan data kinerja PTUN, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung urusan Tata Negara dalam menyelesaikan perkara Pemilu dan PTUN.
Menurutnya perkara yang masuk dan diperiksa PTUN se-Indonesia dalam sengketa proses pemilihan umum sebanyak 42 perkara.
“Dengan jumlah perkara yang masuk seperti itu, maka Peradilan Tata Usaha Negara masih cukup berprospek dalam menyelesaikan sengketa proses pemilu” ungkapnya.
Terkait dengan kewenangan Pengadilan Tinggi TUN yang menyelesaikan perkara Pilkada termasuk pengujian terhadap pembatalan pasangan calon, Irvan bahwa ada 3 (tiga) jenis pembatalan pasangan calon dalam Pilkada, yakni Pertama, Pembatalan pasangan calon karena tidak memenuhi syarat dan prosedur sebagai pasangan calon.
Kedua, pembatalan karena pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh petahana yang maju lagi.
Ketiga, pembatalan yang dilakukan karena calon pasangan atau tim kampanye melakukan pelanggaran administrasi secara terstruktur, sistematis dan massif seperti dalam kasus Pilkada Kota Bandar Lampung.
Irvan Mawardi menegaskan pelaksanaan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pilkada seperti itu harus cermat dan teliti dalam memilah objek sengketa pembatalan pasangan calon.**
Berikan ulasan