Masa Depan Politik Gibran Rakabuming Raka: Antara Peluang dan Jebakan
Oleh: H. Wahyu Wibisana, S.E.
Masa depan politik Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tengah menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan. Dalam pandangan saya, Gibran merupakan sebuah anomali dalam politik Indonesia. Ia tidak menapaki jalur politik secara perlahan dan bertahap, melainkan melakukan loncatan karier yang luar biasa: dari pengusaha kuliner, beralih menjadi Wali Kota Surakarta, dan dalam hitungan kurang dari satu periode, langsung menduduki kursi Wakil Presiden Republik Indonesia.
Fenomena ini jelas tidak semata-mata lahir dari kalkulasi pribadi, melainkan refleksi dari ekosistem politik dinasti yang dibangun Presiden Joko Widodo. Dengan demikian, Gibran adalah simbol dari betapa lenturnya demokrasi kita: di satu sisi membuka ruang regenerasi, namun di sisi lain sarat dengan bayang-bayang kekuasaan keluarga.
Modal Politik yang Kuat
Tidak dapat dipungkiri, Gibran memiliki modal politik yang sangat besar. Ia membawa nama besar Presiden Jokowi, mendapat limpahan jejaring relawan, serta mengendarai narasi kerakyatan yang telah terbangun selama lebih dari satu dekade. Usianya yang muda membuatnya tampil sebagai wajah regenerasi di tengah dunia politik yang kerap dinilai menua.
Pedang Bermata Dua
Namun, popularitas yang dimiliki Gibran juga merupakan pedang bermata dua. Modal legitimasi yang ia nikmati bukanlah hasil akumulasi kerja politik mandiri, melainkan transfer legitimasi dari sang ayah. Dalam terminologi politik, Gibran masih dapat disebut sebagai rentier legitimasi, yakni tokoh yang hidup dari rente politik keluarga.
Keterbatasannya pun cukup jelas. Ia minim pengalaman politik, belum teruji dalam kontestasi panjang, serta belum memiliki jejaring lintas partai yang kuat. Dari sisi komunikasi, ia cenderung kaku dan jauh dari kapasitas retorika yang dibutuhkan seorang pemimpin nasional. Yang paling penting, hingga kini ia belum menawarkan visi besar tentang arah pembangunan dan demokrasi Indonesia.
Lawan-Lawan Politik
Di hadapan Gibran, berdiri barisan lawan yang tidak bisa diremehkan. Ada kubu anti-dinasti yang menolak konsentrasi kekuasaan dalam satu keluarga, elit partai politik yang enggan memberikan masa depan republik kepada satu dinasti, serta kompetitor lain seperti Agus Harimurti Yudhoyono, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Puan Maharani, Erick Thohir, hingga tokoh-tokoh muda NU dan Muhammadiyah. Mereka memiliki modal sosial yang lebih otentik serta basis elektoral yang lebih mandiri.
Posisi Dilematis
Inilah dilema Gibran. Ia terlalu kuat untuk diabaikan, namun juga terlalu lemah untuk melangkah sendirian. Masa depan politiknya akan sangat ditentukan oleh dua hal. Pertama, sejauh mana ia mampu keluar dari bayang-bayang Presiden Jokowi dan membangun identitas politik yang mandiri. Kedua, apakah ia dapat menawarkan visi besar bagi bangsa ini, bukan sekadar melanjutkan narasi lama.
Penutup
Masa depan politik Gibran Rakabuming Raka berada di titik persimpangan. Jika ia berhasil menghadirkan gagasan besar dan keluar dari ketergantungan politik dinasti, maka ia berpotensi menjadi figur penting dalam demokrasi Indonesia. Namun jika gagal, sejarah hanya akan mencatatnya sebagai produk instan politik dinasti yang rapuh di tengah kerasnya kontestasi demokrasi.
Berikan ulasan