Masih melanjutkan perlawanan di aksi yang pertama bulan Juni lalu (Rabu, 24/6) dengan isu pencabutan RUU-HIP bahkan lebih dari itu, massa aksi menyuarakan pemakjulan Jokowi dan pembubaran PDI Perjuangan. Disini poinnya, bahwa penyuaraan untuk memakjulkan presiden dianggap semudah membalikkan telapak tangan. Ada mekanismenya. Apakah mereka paham soal mekanisme dimaksud (?). Begitu juga dengan keinginan membubarkan PDI Perjuangan justru ketika mereka adalah pemenang pemilu di 2 (dua) penyelenggaraan terakhirnya (??).
Saya, -haqul yaqien-, bahwa isu yang didengungkan itu akan mubazir dan menuai kesiasiaan -seperti aksi dan isu sebelumnya-. Kenapa (?). Karena tidak cerdas dan mengadaada (!). Sudah itu saja argumen yang pantas untuk memberi penggambaran sebuah kesimpulan aksi kemarin itu (Kamis,16/7).
Alasan-alasan Pemberhentian Presiden sebagaimana termakhtub dalam Pasal 7A UUD 1945 mengatur sebagai berikut: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Apakah presiden Jokowi memenuhi syarat tersebut diatas (?) -secara objektif bukan subjektif dan apriori-. Begitu juga soal pembubaran partai politik. Partai politik (parpol) diatur dengan UU Nomor 2 Tahun 2008 jo UU Nomor 2 Tahun 2011. Undang-undang mengatur pembubaran partai dapat dilakukan hanya melalui dua inisiatif.
Pertama, inisiatif internal. Keinginan membubarkan berasal dari dalam partai sendiri. Bentuknya bisa berupa keputusan internal partai untuk membubarkan diri atau menggabungkan diri ke partai lain. Kedua, inisiatif eksternal. Partai dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Alasan pembubaran partai melalui MK bersifat limitatif. Ketentuannya terdapat dalam Pasal 40 Ayat 2 dan Pasal 40 Ayat 5. Partai dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.
Seperti aksi yang pertama (24/6), keinginan untuk menjadikan PDI Perjuangan sebagai musuh bersama akan kembali menemui kegagalan. Jika aksi pertama dibumbui dengan pembakaran bendera PDI Perjuangan, aksi kali ini lebih mengumandangkan pemakjulan dan pembubaran PDI Perjuangan.
Jika dicermati dalam eskalasi gerakan, tak ada yang perlu dikhawatirkan dari gelombang aksi model mereka. Justru yang patut diperhatikan adalah adanya pelibatan massa aksi dari anakanak usia dini. Yang sudah tua saja belum tahu subtansi aksi, apalagi anakaanak (?). Apakah ini menjadi perhatian KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Bukankah anak-anak dilarang terlibat unjuk rasa sesuai dengan Pasal 87 UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (??).
Apa yang menjadi target utama sesungguhnya adalah mengambil alih kekuasaan, dan itu inkonstitusional. Mereka paham soal ini, tapi keinginan kuat untuk berkuasa lebih menguasai akal sehatnya. Hampir setiap saat, elit kelompok ini membuat narasi perlawanan -biarpun itu tak pernah mendapat respon memadai-. Kalau sudah begini, untuk apa terus menerus menebar permusuhan (??).
Keinginan membubarkan PDI Perjuangan sepertinya ingin memancing keluar para kadernya. Padahal PDI Perjuangan dalam kasus pembakaran bendera partai tempo hari lebih memilih jalan hukum. Tidak akan mungkin PDI Perjuangan meladeni tuntutan yang sedemikian ini.
Kesimpulan saya, aksiaksi akan digagas lagi dengan isu yang sama, dan terus menebar provokasi. Lalu, pada titik tertentu nantinya, mereka menjadi seolaholah paling elegan dalam menyuarakan aspirasi. Saat dibubarkan paksa oleh aparat, mereka akan menjelma menjadi kelompok yang tersakiti. Episode selanjutnya sudah melekat di humoir khalayak.
Hen Eska
spidolmerah.red
Berikan ulasan