Awal Desember ini musik klasik membara di Jakarta. Kompetisi Piano Nusantara Plus ( KPN+ ) memasuki tahap akhir: kota terakhir untuk babak penyisihan adalah Jakarta, 7 Desember di Institut Francais d'Indonesie, Jl. Thamrin. Disusul dengan yang telah ditunggu-tunggu: babak Grand Final yang akan diadakan tanggal 13 (Artotel Menteng, Jalan Sunda) dan 14 Desember (IFI Thamrin).
Minggu lalu, pendiri KPN+, pianis & komponis Ananda Sukarlan telah mengumumkan resume jumlah peserta yang melebihi target mereka sendiri tahun ini (578 peserta) serta fakta bahwa Surabaya masih mendominasi jumlah peserta, disusul dengan Palembang dan Bandung. (baca detail lengkapnya :
https://www.tinemu.com/temu-serasi/31716259117/peta-peminat-musik-klasik-zaman-now-di-indonesia-menurut-ananda-sukarlan )
Bagaimana dengan Jakarta? Berikut wawancara bekasiana.com dengan Ananda Sukarlan menjelang babak Grand Final KPN+ 2025.
Ananda Sukarlan (AS) : Sebetulnya kurang tepat menyatakan bahwa Surabaya diikuti peserta terbanyak, karena sebetulnya Jabotabek lah yang terbanyak, tapi kami pecah menjadi tiga kota di tiga tanggal yang berbeda, yaitu Tangerang, Bekasi dan Jakarta. Kalau dijumlah, peserta "Jatabek" ini mencapai 140 orang, dan warga Jabodetabek boleh memilih mau ikut yang di kota mana, asal tanggalnya cocok untuk mereka.
bekasiana : Bagaimana perkembangan kompetisi piano atau musik klasik secara umum di Indonesia saat ini?
AS : Secara kuantitas, mencengangkan karena jadi banyak sekali, tapi sayangnya justru kualitasnya kebanyakan menurun karena berbagai kompetisi itu saling berkompetisi menjaring peserta. Ada beberapa kompetisi yang benar-benar berorientasi cuan untuk penyelenggaranya. Bagi-bagi hadiah, semua dapat juara, tidak ada kriteria artistik, aspek pendidikannya dan pengembangan karir kedepan bagi para pemenang (eh, memang semuanya pemenang!). Kalau tujuannya buat koleksi piala dan medali, kenapa tidak beli saja sih di pasar terus diukir namanya? Kelanjutan kompetisi abal-abal itu adalah bikin konser untuk semua peserta (karena semuanya menang!), mereka harus bayar lagi, dan mereka mau saja karena (orangtua) mereka ingin (anaknya) tampil padahal penontonnya ya sesama peserta bersama pendampingnya. Ini menurunkan standard para musikus muda yang semakin manja. Bahkan dari pengalaman sejak Ananda Sukarlan Award (ASA) pertama kali 2008 dibandingkan sekarang, syarat & ketentuan peserta saja menjadi jauh lebih mudah karena keluhan para calon peserta dan guru musik. Saya ingat waktu Isyana Sarasvati memenangkan ASA 2013, dia harus menyanyikan 8 tembang puitik, hanya di babak final loh! ( lihat videonya https://youtu.be/FotvrZWBjYI?si=y6WBw_f4gffKvH09 ) . Memang KPN+ lebih "bersahabat" daripada ASA, jadi memang hanya dituntut menyanyikan (atau memainkan, di kategori instrumen apa saja) 2 karya, itu pun sekarang sudah banyak yang mengeluh! ASA tidak bisa lagi menuntut seberat seperti edisi 2013, kini hanya separuhnya. Tapi bagaimana seorang musikus "tidak kuat" tampil non stop selama 20 menit seperti 12 tahun lalu? Ini menurunkan standar dan stamina artistik para musikus. Ini standar minimum untuk sebuah kompetisi, saya tidak mau menurunkannya lagi.
Setelah menang ASA 2013 itu Isyana Sarasvati menjadi tokoh utama di opera saya, Clara, yang bercerita tentang pemerkosaan dan kerusuhan 1998. Di situ ia menyanyi 1 jam, dengan acting dan hafal! Apakah pemenang ASA tahun-tahun terakhir ini bisa? Nah, buat saya, kompetisi itu bukan bisnis mengeruk uang peserta. Penyelenggara harusnya bertindak sebagai produser, mencari bakat-bakat untuk konser nantinya. Kompetisi itu seperti laboratorium yang menghasilkan pemusik yang sudah terjaring, kemudian mereka adalah sumber daya untuk konser. Konser ini lah yang menjadi pembuktian kemampuan artistik para pemenang kompetisi itu. Dan ini yang menjadi anak tangga pertama dari karir mereka yang bisa menghidupi ekosistem musik klasik, dari mereka sendiri, produser dan crew lainnya.
Saya tentu sadar penurunan kualitas dan kemampuan artistik ini juga terjadi karena kurikulum sekolah umum yang kini sangat tidak menunjang kegiatan ekstrakurikuler. Tapi justru kita harus berjuang lebih dong untuk mempertahankan kualitas artistik!
bekasiana : Bicara soal karir, kini fenomena banyak orang tua yang antusias menyekolahkan anaknya les piano, vokal atau instrumen lainnya sejak usia dini, namun bereaksi negatif ketika sang anak ingin menjadi musisi profesional. Ini merupakan ironi yang cukup menarik. Di satu sisi, musik dianggap sarana pembentukan karakter—melatih disiplin, ketekunan, daya ingat, dan kepercayaan diri. Namun di sisi lain, ketika minat terhadap musik berkembang menjadi pilihan hidup, banyak orang tua justru menolak dengan alasan bahwa musik bukanlah “pekerjaan yang layak.”
AS : Masalah sesungguhnya bukan terletak pada musik, melainkan pada cara sebagian orang tua mengukur keberhasilan. Selama musik diperlakukan sebagai hobi yang mempercantik citra sosial keluarga, keberadaannya diterima. Tetapi ketika musik menjadi profesi yang menuntut komitmen, muncul kekhawatiran tentang kestabilan ekonomi dan masa depan anak. Pandangan ini mencerminkan pola pikir lama yang menilai kesuksesan hanya dari keamanan finansial dan status sosial, bukan dari potensi aktual seseorang dalam bidang yang ia tekuni.
Padahal, lanskap industri musik telah berubah drastis. Ekonomi kreatif dan teknologi digital membuka banyak peluang baru—mulai dari musisi independen yang berkarya melalui platform seperti SoundCloud dan Spotify, hingga performer yang memperoleh penghasilan dari live streaming, penjualan merchandise, atau kolaborasi virtual. Di era digital ini, karier di bidang musik dapat tumbuh secara berkelanjutan apabila dikelola dengan strategi, ketekunan, dan pemahaman industri yang baik.
Kekhawatiran orang tua dapat dimaklumi. Mereka dibentuk oleh pengalaman hidup di masa ketika menjadi seniman sering diidentikkan dengan ketidakpastian. Namun konteks zaman telah bergeser. Tahun 2025 adalah era ketika kreativitas justru menjadi modal ekonomi utama. Menjadi musisi kini bukan sekadar idealisme, melainkan profesi yang bisa kompetitif dan produktif jika dijalani dengan profesionalisme.
Pada akhirnya, keputusan tentang masa depan seharusnya berada di tangan anak itu sendiri. Orang tua memiliki peran penting dalam memberi arahan, dukungan, dan kasih sayang, tetapi tidak untuk menentukan jalan hidup secara sepihak. Setiap individu bertanggung jawab atas pilihan dan konsekuensi hidupnya. Jika musik adalah hal yang membuat seseorang hidup, waras, dan bermakna, maka pilihan menjadi musisi bukanlah bentuk kenekatan, melainkan keberanian untuk jujur terhadap panggilan diri.
Percayalah, kalau serius dan paham industrinya, jadi musisi sekarang bisa jauh lebih menjanjikan daripada menjalani profesi yang saat ini sedang dalam bahaya digeser oleh robot dan AI seperti di bidang kedokteran, engineering bahkan bidang hukum (yang lurus dan benar, bukan negosiasi sogok-sogokan dan makelar kasus).
bekasiana : Soal metode dan bahan pengajaran bermain instrumen, bagaimana perkembangannya? Apakah menyesuaikan dengan keadaan saat ini yang tidak terlalu kondusif?
AS : Banyak metode pendidikan bermain instrumen berorientasi komersial, mengakomodasi "kemalasan" para musikus pemula dan muda. Alicia's Piano Books tidak, karena setiap nomor itu saya tulis untuk anak saya sejak ia berusia 7 tahun, berdasarkan pengalaman kami, kelemahan tekniknya yang harus dilatih dan juga melatih kemampuan berekspresi atau "storytelling" melalui musik dan saya ingin tentu yg terbaik untuknya.
Penulisannya benar2 melihat perkembangannya, disesuaikan dengan tangan kecilnya dan bakatnya yang tidak terlalu menonjol, seperti kebanyakan anak anak lainnya. Jadi ini menyangkut pola pikir dan koordinasi. Kemampuan bermusik harus memperbaiki kemampuan fokus dan konsentrasi, bukan justru mengadaptasi kemampuan berfokus yang semakin pendek dan rendah.
bekasiana : Selain KPN+ region Surabaya (23 November) dan Yogyakarta (29 November), anda akan mampir Madiun di antaranya, serta konser di Yogya sehari setelah kompetisi. Apa agenda di Madiun, dan bisa ceritakan sedikit tentang konser anda? Ini kesempatan besar untuk publik Yogya untuk menyaksikan anda secara langsung.
AS : Saya akan mengadakan masterclasses, juga dua seminar yang sebetulnya adalah temu muka. Satu untuk para guru musik dan pelajar serta orangtuanya, satu lagi untuk umum. Ini adalah undangan dari Sekolah Musik Indonesia (SMI) Madiun. Jadi saya bukan hanya bagi ilmu, saya juga ingin mempelajari Madiun : apa yang mereka butuhkan untuk meningkatkan pendidikan musiknya. Selain itu, saya wisata kuliner dong. Saya suka makan, jadi ingin mencicipi nasi pecel, soto Madiun, di kota asalnya !
Sedangkan konser di Yogyakarta, selain saya bermain solo piano, juga mengiringi beberapa pemenang KPN+ kategori vokal (tembang puitik) dan instrumen gesek dari region Surabaya dan Yogyakarta. Juga kami akan menghadirkan bintang tamu Dr. Taras Filenko, pianis dari Ukraina. Di Yogyakarta, kompetisi dan konser (29 dan 30 November) akan diselenggarakan di Sagan Heritage Hotel, keduanya terbuka untuk umum. Dan memang, sudah lama sekali saya tidak konser di Yogya, jadi saya sangat excited!
Berikan ulasan