Pameran Lukisan Anfield, Kekurangan Yang Menjadi Kelebihan
Pianis dan komponis terkemuka Ananda Sukarlan pernah menulis di artikelnya di The Jakarta Post: (diterjemahkan oleh penulis) "Sutradara film Federico Fellini pernah berkata: 'Semua karya seni bersifat otobiografis. Mutiara adalah otobiografi tiram'. Mutiara tercipta dari ketidaknyamanan dan rasa sakit, dan seni adalah upaya seniman untuk meringankan rasa sakit yang ditimbulkan baik dari dalam maupun luar tubuh kita. Itu sebabnya banyak seniman yang berkarakter kuat di karya seninya sebetulnya rapuh secara emosional, baik karena depresi, gangguan mental, atau pola asuh yang rusak (misalnya dari keluarga broken home). Seni berfungsi sebagai katarsis (dari kata Yunani katarsis, yang berarti “pemurnian” atau “pembersihan”) yang awalnya digunakan oleh Aristoteles dalam tulisannya "Poetics" melalui pembersihan emosi yang menghasilkan pembaruan, keseimbangan, dan pemulihan."
Lahir pada tahun 2004, pelukis Anfield Wibowo telah menghasilkan lukisan dengan pengaruh besar ekspresionisme namun telah memiliki identitas dan jati diri yang kuat. Nilai seninya yang tinggi berbicara sendiri, lahir dari keinginan kuatnya to express, not to impress. Faktanya, ia memiliki banyak aspek yang impresif: lebih dari 500 lukisan di usianya yang baru 19 tahun, telah mengadakan pameran tunggalnya yang ke-6 dan terlahir tuli serta didiagnosis mengidap sindrom Asperger ketika ia berusia 10 tahun. Anfield bersekolah di Sekolah Berkebutuhan Khusus Pangudi Luhur. “Sejak usia sekitar 3 tahun, dia lebih menyukai alat-alat tulis dan menggambar daripada mainan pada umumnya, dan terus-terusan membuat sketsa. Dia juga menyukai jigsaw puzzles dan balok mainan. Dengan menggambar dan mencoret-coret, Anfield melatih kemampuan motorik halusnya yang tadinya cukup kikuk. Dia selalu sangat fokus dalam mengerjakannya, dan terlihat jelas bahwa dia menikmatinya, bahkan saat ini dia sedang mengerjakan lukisan betulan, bukan hanya corat-coret dan sketsa,” jelas Donny Mardonius, ayah dari Anfield. Pada usia 6 tahun, Anfield mulai menggunakan krayon dan pensil warna, dan pada usia 7 tahun ia mulai melukis di atas kanvas dengan cat akrilik, yang ia tekuni hingga sekarang. “Anfield adalah anak kami satu-satunya, dan dia otodidak dalam melukis, meskipun dia sempat mengikuti kursus melukis dalam waktu singkat. Untuk melukis suatu karya secara utuh, ia memerlukan waktu paling lama dua jam; setelah itu tidak akan disentuh lagi,” jelas Donny lebih lanjut.
Jumat 22 September nanti Anfield Wibowo akan memulai pameran tunggalnya yang ke-5. Sebanyak 34 karya akan dapat dinikmati pengunjung, semuanya acrylic on canvas. Pameran yang berlangsung sampai tanggal 1 Oktober ini akan dibuka oleh Harry Tjahaja Purnama (praktisi pariwisata digital pendiri platform lewat WhatsApp "Ask Harry Tourism", Wakil Ketua Asosiasi Pariwisata Nasional (Asparnas) dan adik kandung dari Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok), dan juga akan dihadiri oleh beberapa tokoh antara lain Ananda Sukarlan yang juga telah menorehkan prestasinya di bidang yang lain, yaitu musik klasik. Pameran ini akan bertempat di Balai Budaya Jakarta, Jl. Gereja Theresia no. 47, Menteng.
Beberapa testimoni dari beberapa orang terkemuka yang mengagumi karya Anfield, misalnya:
"Anfield melukis dengan hati, saya suka dengan komposisinya" -- Ir. Ciputra (alm., pengusaha dan pecinta seni).
"Anfield telah menemukan senirupa dan sebaliknya" -- Maya Sujatmiko (kurator dan pecinta seni).
"Idealnya, inilah cara kita menilai karya seni — karya seni tersebut seharusnya, didasarkan pada nilai artistiknya, bukan berdasarkan usia, sifat khusus, eksentrisitas, atau keunikan dari kehidupan sang seniman. Anfield telah membuktikan bahwa produk seninya bisa mandiri dari sang seniman yang menciptakannya. Musik Beethoven memberikan pengaruh yang besar bukan karena (atau bahkan meskipun) ketuliannya. Lukisan Van Gogh sangat kuat dan berpengaruh tanpa ada yang perlu mengetahui tentang keadaan psikotik dan delusinya, atau bahwa ia memotong sebagian telinganya." -- Ananda Sukarlan (komponis & pianis yang juga penyandang sindrom Asperger).
"Lukisan Anfield penuh makna selain keindahan Rupa" -- Agus Dermawan T. (pengamat dan penulis buku Seni dan Budaya).
Anfield terlihat seperti Aspie (panggilan untuk para pengidap sindrom Asperger) muda pada umumnya — dia melakukan apa yang dia suka, tanpa disaring, dia tidak terlalu menunjukkan minat dalam berinteraksi dengan orang-orang (yang lebih disebabkan oleh ketuliannya juga), meskipun dia melakukannya melalui ponselnya. Anfield Wibowo, Ananda Sukarlan, Elon Musk, penemu komputer Alan Turing dan para Aspie lainnya memiliki keterbatasan, tapi berkontribusi besar terhadap dunia lewat karya dan prestasi mereka.
Berikan ulasan