29 Juli 2023 lalu, sastrawan legendaris Indonesia Putu Oka Sukanta merayakan ulangtahunnya yang ke-84. Tepat di hari itu ia menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul “Pengakuan”, bertempat di Goethe Haus, Jakarta.
Putu Oka, sastrawan legendaris kelahiran Bali, 29 Juli 1939 ini dikenal tidak hanya karena berbagai tulisannya yang bernilai tinggi melainkan juga dirinya yang menjadi bagian dari sejarah kelam Indonesia. Karya-karyanya seringkali menyinggung persoalan pelanggaran HAM, termasuk dalam puisinya yang berjudul “Pengakuan” yang menyinggung persoalan HAM yang tak kunjung selesai. Ia adalah satu dari sekian banyak orang yang dipenjara tanpa diadili pada tahun 1966 karena dianggap sebagai aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA).10 tahun lamanya ia mendekam, mengalami segala siksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi sampai akhirnya keluar tahun 1976.
Di acara yang diselenggarakan oleh Asia Justice And Rights (AJAR) dan Yayasan Pengembangan Informasi Alternatif dan Seni tersebut, terdapat sesi “Celoteh Kebudayaan”. Pada sesi tersebut Putu Oka bercerita mengenai pengalamannya dalam proses berkarya. Ia menjelaskan bagaimana ia pernah diwawancarai: apakah ia tetap berkarya setelah LEKRA sudah tidak ada?
“Aku menulis bukan karena LEKRA karena aku sudah menulis sebelum ada LEKRA dan masih tetap menulis hingga hari ini,” tegasnya.
Dalam sesi celoteh kebudayaan tersebut, Putu Oka juga membahas mengenai puisi dan demokrasi. Puisi dan demokrasi menurutnya tidak boleh dijadikan tujuan melainkan harus dijadikan alat sebagai langgam kerja.
“Puisi dapat menjadi media untuk membangun kejernihan terhadap makna kebahagiaan. Tujuan akhir demokrasi bukanlah kekuasaan di tangan rakyat melainkan terpenuhinya kesejahteraan rakyat; demokrasi sebagai langkah kerja harus dilandasi dengan prinsip-prinsip kesetaraan dalam perbedaan maka kesejahteraan dan kebahagiaan dapat tercapai; happiness is the core of human rights,” tuturnya. “Apabila puisi dan demokrasi dijadikan tujuan dan dicapai dengan cara-cara yang tidak mengindahkan kesetaraan melainkan justru menggunakan suara mayoritas dan otoriter untuk menentukan segala sesuatu maka dapat dipastikan bahwa puisi dan demokrasi adalah utopia atau hanya khayalan belaka,” imbuhnya.
Putu Oka juga menjelaskan bahwa demokrasi harus sudah dikerjakan pada saat pembentukan ide dan gagasan dengan transparansi dan puisi ditulis dengan kejujuran yang menyingkat permasalahan dan persoalan untuk meningkatkan kesadaran, kecerdasan, memperluas cara berpikir, dan cita rasa pembacanya.
“Sastrawan bukanlah orang gila; bukan monyet; bukan juga manusia yang luar biasa, melainkan hanya manusia biasa yang melukiskan cakrawala kehidupan dan melakukan perhitungan dengan angka-angka bahasa,” ucap Putu Oka menutup celotehannya dengan mengutip pernyataan salah seorang budayawan yang memberi pengantar pada buku terbitan pertamanya di tahun 1982.
Acara dilanjutkan dengan sesi diskusi; dibahas mengenai relevansi karya-karya Putu Oka di era sekarang. Marsen Sinaga sebagai penulis epilog dalam buku Pengakuan mengungkapkan bahwa Putu Oka seperti mengajak kita untuk menjadi pengamat dalam arus kehidupan yang serba cepat sehingga kita tidak tenggelam di dalamnya; juga tidak terlena melainkan dapat memetik peristiwa masa lalu dalam hal ini dapat berupa pengalaman Putu Oka sebagai penyintas HAM dan merefleksikan kejadian-kejadian saat ini. Dua penulis muda lain ikut menyumbangkan pendapat dan idenya di forum ini, yaitu Dewi Kharisma Michellia dan Dhianita Kusuma Pertiwi.
Di antara para penonton dan undangan yang memenuhi Goethe Haus di Jalan Sam Ratulangi tersebut ada beberapa tokoh terkemuka seperti perupa Dolorosa Sinaga, penulis Martin Aleida dan aktivis perempuan Anik Tunjung Wusari dari Indonesia untuk Kemanusiaan. Penulis sempat juga berbincang dengan pianis & komponis Ananda Sukarlan, yang sedang banyak menggali karya-karya sastrawan yang menjadi korban di Orde Baru, seperti Sabar Anantaguna, Sutikno WS dan Wiji Thukul dan dibuat musik olehnya. Bulan Juni lalu bertepatan dengan ulangtahunnya ke-55, Ananda Sukarlan menerima penghargaan sebagai Honorary Member dari Rotary Club. Komponis yang karyanya banyak melibatkan isu kemanusiaan ini juga dianugerahi gelar kesatriaan "Cavaliere Ordine della Stella d'Italia" dari Presiden Sergio Mattarella dan dari negara kita sendiri gelar Sri Raja Pujangga Nusantara dari Sripaduka Baginda Maharaja Kutai Mulawarman. Beberapa link dari musiknya berdasarkan puisi Putu Oka Sukanta dan Sabar Anantaguna yang dinyanyikan oleh penyanyi bariton Jonathan Jedine Santoso bisa disaksikan disini :
Dalam Sel (Putu Oka Sukanta) https://youtu.be/vXxRYK0f9Fk dan Tangerang (Sabar Anantaguna) https://youtu.be/1J_91ARslKQ
Acara peluncuran buku puisi "Pengakuan" ini dimeriahkan dengan tari-tarian kontemporer berupa interpretasi dari beberapa karya puisi Putu Oka, serta pertunjukan paduan suara Dialita (Di atas Limapuluh Tahun) yang anggotanya semua terdiri dari para perempuan yang anggota keluarganya menjadi tahanan politik di masa Orde Baru.
Puitisasi puisi Putu Oka yang berjudul “Perempuan oh Perempuan” ditarikan oleh Vita Valeskha berkolaborasi dengan Sanggar Sagita Kencana Budaya yang menjadi pembuka acara peluncuran tersebut.
Putu Oka dengan karya-karyanya dapat menjadi marwah bagi zaman saat ini atau untuk generasi saat ini untuk menyentuh nurani kita semua mengenai persoalan HAM di Indonesia.
Berikan ulasan