Mahasiswa terutama mereka yang di luar, melihat dinamika gerakan mahasiswa di bawah rezim “Reformasi.” Sebagian gundah, melihat gerakan mahasiswa semakin sepi dari aktivis: daripada terjun ke dalam dunia gerakan yang menyita energi, mahasiswa lebih memilih hidup bersantai di kampus, atau mungkin berjualan dan berbisnis. (Bukankah itu lebih menguntungkan? Dan lebih menyejahterakan?) Sebagian gundah, melihat gerakan mahasiswa, yang dari segi kuantitas itu semakin sedikit (atau setidaknya stagnan), masih saja tercerai-berai oleh perseteruan “dalam negeri,” fraksi antarteman, dan tentu saja perbedaan kepentingan. Sebagian lagi gundah, melihat gerakan mahasiswa yang semakin tidak jelas tujuannya. Lihat saja, berapa gerakan mahasiswa yang masih konsisten dengan misi awalnya memberdayakan kemampuan intelektual mahasiswa dan mengasah kepekaan mereka pada realitas sosial? Sebagai bandingan, berapa gerakan mahasiswa yang semakin mendekat pada pusat-pusat kekuasaan, tempat-tempat modal dan kucuran dana mengalir dengan derasnya?
Berbagai ekspresi kegundahan itu seringkali lahir dari suara-suara orang luar, atau sedikit aktivis gerakan yang benar-benar mengerti persoalan dan masih idealistis. Biasanya, lalu dicarilah penyebab, yang disinyalir merupakan faktor-faktor penyebab mewabahnya fenomena itu.
Sebagian menilai, kemunduran gerakan mahasiswa itu disebabkan oleh faktor budaya ini pendapat yang sepertinya paling banyak dianut pengamat gerakan mahasiswa. Yang dimaksud dengan faktor budaya kurang lebih adalah faktor yang mengondisikan kehidupan mahasiswa saat ini dari segi-segi kebiasaan, tindak-tanduk, perilaku, atau minat mahasiswa secara individual dan komunal. Kata kunci bagi faktor ini sederhana: “gaya hidup”, atau meminjam kosakata yang sering dikutip, habitus. Sederhananya, kemunduran gerakan mahasiswa disebabkan oleh perubahan gaya hidup mahasiswa itu sendiri karena perubahan lingkungan kultural di mana mahasiswa hidup sehari-hari. Budaya pop sering ditunjuk sebagai biangnya. Pergeseran gerakan mahasiswa disebabkan oleh pengaruh gaya hidup mahasiswa dan aktivis-aktivisnya yang semakin terpesona oleh budaya pop yang, kita tahu, dimotori oleh teknologi-informasi, hiperrealitas media, dan dunia hiburan. Di balik itu semua, bersembunyi pleasure: kesenangan. “Apa saja yang menyenangkan, itulah yang penting”. Secara logis, karena gerakan mahasiswa tidak memberikan kesenangan, minat mahasiswa untuk terjun di sana dengan sendirinya merosot. Cara pandang ini dianut utamanya oleh para pengkaji sosiologi, yang mendasarkan analisisnya pada politik budaya.
Pendapat pertama masih terdengar ilmiah, dibandingkan dengan pendapat kedua ini: teori moralitas. Bila yang pertama melihat faktornya pada hal-hal yang objektif (lingkungan, dst.), yang kedua ini biasanya melihat penyebabnya pada hal-hal yang bersifat etis-moral. Menurutnya, kemunduran gerakan mahasiswa dipicu oleh kemerosotan moral mahasiswa. Bahwa mahasiswa tidak lagi mempunyai moralitas seperti dicita-citakan dari sosok ke-“maha”-siswaannya. Bahwa mahasiswa, setelah dilihat dari perilaku sehari-harinya dan idealisme dalam pikirannya, mengalami “degradasi moral” yang serius, sehingga harapan yang diletakkan di pundak mereka sebagai “anak bangsa” dan “calon-calon pemimpin bangsa” pupus sudah. Biang dari semua ini, bagi pendapat kedua ini, adalah “hedonisme”. Perbedaannya dengan pendapat pertama: bila yang pertama tidak terlalu menghakimi, pendapat kedua ini tidak hanya menghakimi, tetapi juga menyesali. Hal yang disesalkan kerap kali adalah “kurangnya penanaman nilai-nilai agama”, atau “kurangnya pendidikan moral”.
Pendapat ketiga bisa dikatakan adalah pendapat kaum “romantik.” Hal ini dapat dimaklumi, karena masa-masa mahasiswa adalah masa-masa pencarian diri. Pendapat ini mengatakan, faktor kemunduran gerakan mahasiswa terletak pada dimensi eksistensial, yaitu hilangnya “jati diri” mahasiswa menghadapi godaan pragmatisme hidup. Entah “jati diri” apa yang dimaksud, tetapi yang jelas bagi kalangan ini, mahasiswa telah kehilangan kesadaran akan “keakuan”-nya, sehingga dia mudah kehilangan arah dan tenggelam dalam carut marut dunianya. Ideal bagi kaum romantik ini adalah sosok-sosok mahasiswa yang telah menjadi tokoh dan legenda Mahbub Djunaidi. Legenda karena generasi mahasiswa saat ini dapat belajar tentang “keteladanan sikap,” “pengabdian,” “pengorbanan,” dan lain sebagainya.
Membaca pengorbanan aktivis PMII yang berjuang dalam spirit keislaman dan keindonesian. Dalam konteks kampus sering dikatakan bahwa mahasiswa yang bergabung dengan organisasi external mendapatkan keterasingan dalam karakter inilah yang menyebabkan alienasi antara kaum organisatoris dengan kaum instan. Kaum instan yang merasa bahwa kaum instan lebih dalam apapun. Padahal Pramoedya pernah berkata didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan. Sejatinya kaum organisatoris external mampu mengaktualisasikan dirinya yang didapat karena bukan hanya belajar di kampus tetapi melek terhadap problematika sosial. Sejatinya mahasiswa external tidak ada tujuan yang melanggar dari etika kelompok tetapi bagaimana bisa memanifestasikan pikiran progresif. Tetaplah berjuang kader PMII di arus budaya kontemporer dan kompleksitas dinamika mahasiswa.
"Sesuatu yang diawali maka wajib untuk diakhiri"
Selamat ulang tahun PMII wadah multidimensi untuk mahasiswa dan alumni.
Berikan ulasan