Tak tahu lagi sudah berapa banyak air mata ini mengalir. Saat itu, pukul 20.00 saya disinggahkan di sebuah ruangan khusus istirahat. Biasanya dikenal ruang isolasi.
Kamar yang diisi enam bad itu terbagi empat ruangan. Tak ada televisi, sepi, hening jarang ada lalu lalang orang. Disitu saya berharap waktu cepat berputar. Cepat matahari muncul.
Selama menunggu pagi, cuma handphone yang menjadi teman setia. Tapi bingung mau buka aplikasi apa. Jejaring sosial yang saya miliki semua memberitakan teror Covid -19. Saya pun tak mau menambah ketakutan. Akhirnya saya memilih bermain game. Sayang, tiba-tiba baterai mulai habis. Kebetulan saya tak punya persiapan carger.
Lama melamun dengan sendiri, tiba-tiba kepala saya mendadak sakit. Seperti diremas, habis terkena benturan keras. Perawat yang saya harapkan hadir tak kunjung tiba. Perasaan sudah tak karuan. Apakah sakitnya kepala saya itu karena virus, atau ada penyakit yang lain.
Saya berusaha kirim pesan Whatsapp ke suami yang di rumah. Mengabari soal penyakit yang saya derita. Mendengar itu, suami pun mengaku akan mencari pertolongan secepatnya.
Setelah menunggu berjam-jam tepatnya pukul 00.00 perawat yang diharapkan datang tiba di ruangan sekaligus memberi obat. Selesai itu saya pun bergegas tidur, karena baterai hanphone sudah sekarat.
Alhamdulilah, malam itu terlewati. Penyakit di kepala saya sudah hilang. Sarapan pun menyambut. Nasi putih sayur dan telor. Ditambah susu untuk menambah kesehatan.
Usai sarapan, perawat kemudian mengambil darah saya. Tak tanggung-tanggung banyak sekali darah yang diambil. Padahal, saya memiliki riwayat darah rendah. Tapi dalam hati kecil saya berkata tidak apa-apa demi kesehatan. Sambil ikhtiar saya terus semangat.
Sebagai mualaf, saya memang belum mengetahui bacaan doa apa saja yang lebih khusyuk. Tapi dengan penuh keyakinan, saya tetap baca doa apa saja yang saya bisa. Saya yakin Allah pun bakal memahami umatnya karena ketidaktahuan.
Tak berapa lama, perawat akhirnya datang. Perawat itu meminta untuk jalani tes swap. Tes terakhir bagi para suspect virus corona. Saya diminta mengeluarkan riak. Pas banget, riak itu keluar. Padahal, jauh sebelumnya saya sulit sekali mengeluarkan riak. 'Tunggu hasilnya yah bu. Kalau negatif ibu boleh pulang" kata perawatnya.
Ya allah saya langsung cemas. Ketakutan campur kesedihan melanda beberapa jam menanti hasil. Saya pun berusaha menghilangkan kecemasan. Karena banyak petugas kesehatan yang saya kenal pun sembuh meski sebelumnya sakit. Saya harus seperti mereka, begitu hati saya berkata.
Kabarnya hasil itu keluar pada Selasa 7 April 2020 pukul 13.00. Tapi hingga pukul 14.00 hasilnya tidak dikabari. Mulai panik, rasa takut terus bertambah. Sebab, kalau hasil negatif saya akan diperbolehkan pulang.
Setelah beberapa jam menunggu, tiba-tiba ponsel saya berdering. Nomor panggilan tak dikenal terus berdering. Setelah saya angkat, ternyata dari pihak ruangan yang memberi kabar hasil tes swap saya negatif. Gembira tapi masih kurang percaya. Saya pun menanyakan kembali kebenarannya. Hingga perawat menyarankan untuk pulang.
Ya allah, doa saya ternyata terkabul. Senang, haru semua bercampur saat itu. Saya pun langsung mengabari suami sekaligus minta dijemput. Air mata semua orang terdekat saya selalu mengucur dari kelopak mata. Hingga akhirnya saya diminta pulang untuk menjalani karantina rumah.
Berikan ulasan