Mencermati proses seleksi tahap wawancara bakal calon anggota KPU dan Bawaslu RI yang dilakukan oleh Tim Seleksi (Timsel) seakan menjadi refleksi akhir tahun penyelenggaraan pemilu di tanah air. Sejak tanggal 26-30 Desember 2021 sebanyak 20 orang bakal calon anggota Bawaslu RI dan 28 orang balon anggota KPU RI mendapat kesempatan untuk mengungkapkan permasalahan, gagasan dan pemikiran seputar pemilu dan upaya meningkatkan kualitas demokrasi elektoral.
Permasalahan daftar pemilih, proses pencalonan, tahap kampanye, pemungutan dan penghitungan suara hingga potensi gugatan/sengketa yang mengiringinya diulas dan dikupas secara lugas. Ada juga yang menyoroti isu regulasi pemilu, penegakan kode etik penyelenggara pemilu serta relasi antar komisioner maupun hubungan komisioner dengan sekretariat yang kadang menimbulkan kontraksi dan disharmonisasi sebagai problem kelembagaan penyelenggara pemilu.
Mereka yang berhasil lolos ke tahap 28 besar calon anggota KPU RI adalah sosok yang telah dikenal dan berpengalaman dalam dunia kepemiluan. Diantaranya empat orang petahana anggota KPU RI periode 2017-2022, dua orang pimpinan Bawaslu RI serta sejumlah pimpinan KPU dan Bawaslu tingkat Provinsi. Selain itu terdapat aktivis kepemiluan, akademisi, profesional dan pegiat pemilu lainnya.
Pelaksanaan pemilu dan pemilihan kepala daerah yang dijadwalkan berlangsung serentak pada tahun 2024 menjadi tugas besar bagi pimpinan KPU RI periode 2022-2027. Tantangan yang dihadapi sangat komplek jika bercermin dari penyelenggaraan pemilu serentak 2019, ditambah dengan gelaran pemilihan kepala daerah serentak nasional untuk pertama kalinya.
Diskusi yang berlangsung antara Timsel dengan para calon komisioner KPU RI mengidentifikasi permasalahan yang muncul pada Pemilu 2019 dan harus diantisipasi agar tidak terulang pada Pemilu mendatang. Para kandidat diminta untuk mencari solusi untuk mengatasi permasalahan dan menyiapkan skema mitigasi resiko dari setiap tahapan yang akan dikerjakan.
Sebagai contoh tentang akurasi daftar pemilih yang sering menjadi problem dalam pelaksanaan pemilu maupun pemilihan semestinya bisa disederhanakan. Terdapat banyak istilah dan pengertian terkait daftar pemilih yang terdapat dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, seperti DPS (daftar pemilih sementara), DPT (daftar pemilih tetap), DPTHP (daftar pemilih tetap hasil perbaikan), DPK (daftar pemilih khusus), DPTb (daftar pemilih tambahan), DPPh (daftar pemilih pindahan).
Tingkat partisipasi pemilih yang menjadi salah satu indikator kesuksesan pemilu juga perlu ditelaah lebih dalam dan komprehensif. Meski pada Pemilu 2019 tingkat partisipasi pemilih lebih dari 80 persen, namun KPU belum memiliki data pemilih yang datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya. Sebagai contoh, belum dapat diketahui berapa prosentasi pemilih yang datang ke TPS berdasarkan kelompok rentang usia.
Secara kasat mata yang perlu menjadi bahan evaluasi dari penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 adalah ratusan orang petugas KPPS yang meninggal dunia. Beban tugas yang berat dan menumpuk dalam mempersiapkan TPS hingga proses tungsura yang memerlukan waktu cukup panjang memicu kelelahan yang berujung pada kematian. Hal ini jelas tidak boleh terulang lagi pada perhelatan Pemilu 2024.
Beberapa gagasan yang ditawarkan oleh para calon pimpinan KPU RI tersebut diantaranya adalah penyederhanaan surat suara (redesign), penggunaan teknologi informasi dalam proses rekapitulasi (e-rekap) dan melibatkan mahasiswa yang masih berusia muda untuk menjadi petugas adhoc sebagai ujung tombak penyelenggara pemilu. Namun demikian, terobosan tersebut dinilai masih terkendala regulasi yang berlaku saat ini.
Semangat mewujudkan pemilu yang berintegritas disuarakan oleh hampir semua peserta yang lolos ke tahap wawancara. Salah satu kunci untuk menjamin pemilu yang berintegritas harus ada kepastian hukum, kepastian prosedur dan hasil pemilu tidak dapat diprediksi. Kepastian hukum dapat dimaknai dalam empat hal yaitu; tidak ada kekosongan hukum, tidak multi tafsir, tidak saling bertentangan satu sama lain dan dapat dilaksanakan.
Pemilu berintegritas bisa juga dimaknai satunya kata dan tindakan. Kebijakan kepemiluan yang dikeluarkan oleh penyelenggara pemilu harus berdasarkan aturan, regulasi dan kerangka hukum yang sudah disediakan. Pemilu maupun pilkada merupakan arena konflik yang dianggap sah untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Karenanya, KPU sebagai penyelenggara pemilu ibarat manager konflik yang harus mampu mengelola dan menyelesaikan kontestasi sesuai dengan aturan main yang disepakati.
Upaya mewujudkan pemilu berintegritas dimulai dengan tampilnya para penyelenggara pemilu yang memiliki komitmen, kapasitas, kredibilitas dan profesionalitas. Rekam jejak (track record) calon anggota KPU semestinya sangat mudah untuk ditelusuri oleh Timsel sebelum memutuskan 14 nama yang akan disampaikan kepada Presiden pada 7 Januari 2022. Kemampuan komunikasi dalam menyampaikan ide, gagasan serta merespon pertanyaan timsel bisa menjadi ukuran kematangan pribadi calon pemimpin lembaga KPU yang mandiri, tetap dan nasional.
Penyelenggara pemilu harus mampu menempatkan diri sebagai figur imparsial, kompeten dan inklusif. Mampu mengorkestrasi pelaksanaan Pemilu 2024 dengan strategi dan metode yang jitu untuk meyakinkan publik bahwa pemilu adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Kolaborasi dan sinergisitas dengan berbagai komponen bangsa menjadi kata kunci untuk menyukseskan pemilu dan pemilihan secara serentak pada tahun yang sama.
Sekedar mengingatkan bahwa tantangan pemilu kedepan tidaklah ringan, pemilih dihadapkan dengan maraknya praktik politik uang dan politik identitas yang dapat memecah belah kesatuan bangsa. Sementara peserta pemilu dan partai politik dibayangi oleh godaan mahar politik dalam proses pencalonan (kandidasi).
Penyelenggara pemilu dihadapkan kepada permasalahan kesulitan rekruitmen dan kapasitas SDM adhoc dalam melaksanakan persiapan dan pelaksanaan pungut hitung. Langkah antisipatif yang dapat dilakukan yakni pengaturan jeda waktu yang proporsional antara pemilu dan pilkada. Berikutnya sosialisasi yang efektif seluruh jenis pemilu dan pilkada dan penyamaan persepsi antar penyelenggara baik KPU, Bawaslu, dan DKPP dengan melakukan identifikasi potensi masalah teknis dan hukum serta kerangka penyelesaiannya.
Ekosistem pemilu yang berintegritas membutuhkan kesadaran kolektif seluruh warga bangsa bahwa politik bukan alat transaksi untuk menggadaikan negeri kepada sekelompok oligarki. Pemilu 2024 menjadi momentum untuk memaknai jagat politik dengan narasi positif sebagai ikhtiar bersama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga. []
Berikan ulasan