Siapa yang berani dengan virus corona. Sejak datang ke Indonesia pada 2 Maret 2020. Dalam sekejap mampu melemahkan ribuan orang.
Teror corona datang, media sosial pun berlomba-lomba memburu kabar terbaru. Kabar korban terpapar, kabar yang meninggal, hingga kabar terbaru kasus. Tak sedikit juga mengabarkan kesembuhan.
Saat itu, tepatnya Senin 6 April 2020 pukul 17.00 waktu yang menegangkan dalam sejarah hidup saya. Karena setengah jam sebelumnya saya mendapat telepon untuk menjalani tes orang dalam pemantauan (ODP)
Blak, keadaan tubuh saya mulai tidak enak. Raut muka mendadak pucat. Tak berapa lama air mata mulai menetes tak tersadari. Ketakutan mulai meneror langkah demi langkah.
Secara bersamaan hujan turun lebat. Dengan rasa kecemasan, semua orang saya suruh menjauh, termasuk suami dan anak. Ternyata tindakan yang saya lakukan menambah air mata turun deras. Disitu juga masker saya pakai.
Akhirnya saya nekad untuk datang ke RSUD, untuk mengecek kepastian. Ternyata diruang tes banyak teman-teman seruangan yang sudah menunggu. Satu per satu kita dipanggil. Hampir semua rekan-rekan divonis negatif. Giliran saya masuk ruangan. Keringat keluar dari sendi tubuh saya. Kecemasan sudah tak tertolong lagi. Air mata terus menetes tak henti. Karena kondisi saya sedang batuk.
Saya pun terus berdoa agar hasilnya sama dengan rekan-rekan semua. Beberapa menit setelah dites, dokter yang saya kenal selama ini akhirnya mendekati. Perlahan-lahan dokter berucap ke saya untuk tidak pulang. Dokter beralasan karena curiga dengan batuk yang saya derita. Meski rapid tes negatif, tapi karena batuk saya diminta singgah.
Brak, tubuh saya langsung lemas. Mirip usai lari berkilo kilo meter. Keringat dingin mulai turun bersamaan air mata. Suami mendengar kabar itu pun meneteskan air mata. Dia yang tak pernah menangis, secara gamblang di depan umum ikut histeris.
Kami berdua menangis bukan karena takut dengan kematian, bukan karena takut dengan penyakit. Tapi saya takut tidak bertemu anak. Anak yang baru 4 tahun usianya. Anak yang sedang manja-manjanya. Anak perempuan yang tidak bisa tidur tanpa mamahnya.
Beberapa jam, saya harus dilarikan ke IGD. Semua teman-teman pulang (karena masih hujan dan sudah malam). Tinggal suami yang rela menemani. Suami tak ingin meninggalkan saya, karena tak tega melihatnya. Air mata saya terus menetes. Membayangkan bagaimana tidurnya tanpa saya. Apa alasan saya ke anak kalau dia menanyakan kenapa tidak pulang.
Tidak berapa lama, saya pun pasrah. Saya harus bisa buktikan saya sehat. Saya harus buktikan kalau saya mampu sembuh. Sedikit demi sedikit mulai reda kegelisahan saya.
Tak lama, ambulan pun menjemput. Saya diantar oleh petugas lengkap dengan atribut penanganan Covid-19. Suami yang melihat dari kejauhan berusaha berlari mendekati. Karena tak bisa masuk, dia pun ikut membuntuti ambulan itu.
Sesampainya di gedung isolasi. Suami pun hanya bisa melihat dari jarak 100 meter. Saya didorong menuju lift yang ada di dalam lorong gedung. Mulanya saya sudah tegar, tiba-tiba saya teringat tayangan video masyarakat Wuhan China yang menayangkan perpisahan para pasien Covid -19 dengan keluarganya.
Dalam video itu, suami dan anak hanya bisa melambaikan tangan sambil menangis, melihat ibunya dibawa petugas Covid -19 menuju ruang isolasi.
Disitu juga saya menangis lagi. Saya berkata dalam hati kecil, saya pun mengalami yang sama dengan masyarakat Wuhan. Berpisah dan tak bertemu keluarga. Mari berdoa untuk kesehatan kita semua.
Berikan ulasan