Polemik seputar politik dinasti mencuat kembali mengiringi tahapan pemilihan serentak kepala daerah pada 9 Desember 2020. Perdebatan dipicu dari tampilnya Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi sebagai bakal calon Walikota Surakarta. Selain itu ada menantu Jokowi, Bobby Nasution yang diusung oleh sejumlah partai politik sebagai bakal kandidat Walikota Medan.
Tak ketinggalan putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah akan maju dalam Pilkada Kota Tangerang Selatan. Politik Dinasti semakin meruyak dengan munculnya sejumlah nama istri kepala daerah menjadi bakal calon bupati/walikota menggantikan suaminya yang tidak mungkin berlaga kembali karena sudah menjabat kepala daerah selama dua periode.
The Indonesian Institute mencatat, setidaknya ada 52 bakal calon kepala daerah yang mengikuti Pilkada tahun ini terindikasi dinasti politik. Dari jumlah tersebut, 71,5 persen bakal calon akan maju di tingkat kabupaten, dengan rincian, 27 bakal calon bupati dan 10 bakal calon wakil bupati.
Sementara itu, 25 persen bakal calon yang terindikasi politik dinasti maju di tingkat kota, terdiri dari 10 bakal calon wali kota dan tiga bakal calon wakil wali kota. Kemudian, 3,85 persen bakal calon dari dinasti politik mencoba peruntungannya di tingkat provinsi, satu bakal calon gubernur dan satu bakal calon wakil gubernur. (https://republika.co.id/berita/qfq3ep396/52)
Sejatinya praktik politik dinasti di tanah air sudah berlangsung sejak lama. Pada pilkada tahun 2015-2018 tercatat 177 kepala daerah yang terpilih berasal dari dinasti politik. Sebanyak 104 anggota DPR periode sekarang disebnut memiliki ikatan keluarga atau kekerabatan dengan elit politik yang berkuasa di negeri ini.
Pengertian politik dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di suatu daerah. Dinasti politik bukan hanya sekedar ekspansi kekuasaan tapi sebagai bentuk perlindungan diri dengan memprioritaskan anggota keluarga/kerabat menjadi kandidat kepala daerah. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi menyebut sejumlah model politik dinasti yang berlangsung di Indonesia.
Pertama, Dinasti Politik ‘arisan keluarga’ dimana satu keluarga berganti memimpin suatu daerah. Pola seperti ini yang diterapkan dengan mengusung istri/anak/kerabat keluarga terdekat dari kepala daerah tersebut untuk mengikuti pemilihan. Partai politik pengusung beralasan keberhasilan yang ditorehkan oleh suami dalam memimpin suatu daerah dapat dilanjutkan oleh istri. Popularitas suami sebagai bupati/walikota diharapkan dapat menjadi jaminan untuk mendulang suara warga guna memperoleh kemenangan.
Kedua, Dinasti politik lintas cabang kekuasaan. Model seperti ini menempatkan anggota keluarga di berbagai jabatan publik seperti eksekutif dan legislatif. Contohnya di Kabupaten Kutai Timur, sang suami menjadi Bupati sedangkan istrinya menjabat Ketua DPRD setempat. Belakangan pasangan suami istri ini ditangkap oleh KPK karena diduga melakukan tindak korupsi.
Ketiga, Dinasti politik lintas daerah. Hubungan keluarga dan kerabat yang menjadi pejabat publik di daerah yang berbeda dalam satu wilayah provinsi. Nama besar keluarga menjadi magnet bagi masyarakat untuk memberikan dukungan dalam kontestasi yang berlangsung. Sebagai contoh pola seperti ini terdapat di Provinsi Banten dan Sulawesi Selatan.
Sejumlah faktor menjadi alasan menjamurnya praktik politik dinasti pada era pemilihan kepala daerah secara langsung. Diantaranya, menurut Peneliti dari Northwestern University, Yoes C Kenawas, tidak ada aturan yang melarang dinasti politik mengikuti pemilihan. Konstitusi menjamin hak politik setiap warga untuk memilih dan dipilih sesuai aturan perundang-undangan tanpa membedakan latar belakang asal usul dan keturunan.
Sejauh ini tidak ada regulasi yang melarang keluarga atau kerabat pejabat publik untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. Pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi dan menghapus pasal pembatasan larangan keluarga petahana atau politik dinasti dalam UU Pilkada.
MK beralasan dilegalkannya seseorang yang memiliki hubungan darah/perkawinan dengan kepala daerah dapat membuat politik dinasti. Namun, hal itu tidak dapat dijadikan alasan. Lantaran ada UUD yang mengatur supaya tidak terjadi diskriminasi, apabila dipaksakan justru terjadi inkonsistusional.
Berikutnya faktor yang menguatkan politik dinasti adalah lemahnya pelembagaan partai sehingga brand keluarga lebih penting ketimbang ideologi partai. Dalam sebuah lembaga politik, mereka yang masih mempunyai hubungan dekat dengan keluarga acap kali mendapat keistimewaan untuk menempati berbagai posisi penting dalam puncak hirarki kelembagaan organisasi dan mudah memperoleh tiket menjadi calon pejabat publik.
Kondisi tersebut semakin berkembang biak karena mayoritas pemilih tradisional ternyata tidak terlalu anti politik dinasti. Nama besar yang disandang keluarga tertentu menjadi modal unggulan bagi seorang kandidat untuk memenangkan kontestasi. Dukungan keluarga dan popularitas kekerabatan yang menggurita justeru dinilai sebagai kekuatan dalam demokrasi elektoral.
Pertanyaannya, apakah politik dinasti menguntungkan atau merugikan bagi masyarakat? Mampukah kepala daerah yang berasal dari politik dinasti dapat menjalankan good governance?
Hedman dan Sidel dalam buku Philippine Politics and Society in the Twentieth Century (2000) menyebut praktik dinasti sebagai pihak yang bertanggung jawab atas maraknya gejala personalisasi politik dan lemahnya kapasitas negara dan institusi politik. Proses pengambilan keputusan tidak lagi didasarkan pada proses rasionalitas instrumental namun hanya bertumpu pada keputusan individual dari para aktor dinasti yang berkuasa.
Pelembagaan partai politik tersumbat karena asas meritokrasi dikalahkan oleh hubungan darah dan pertalian keluarga. Politik dinasti tidak menawarkan insentif jenjang karir politik yang jelas bagi kalangan luar yang berintegritas dan mempunyai kapasitas agar sudi berperan aktif di dalam partai. Kaderisasi dan regenerasi partai tidak dilakukan secara profesional dan proporsional.
Menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan keluarga untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.
Secara obyektif kita juga mendapati proses kepemimpinan yang lahir dari politik dinasti tidak seluruhnya berimplikasi negatif. Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri mencontohkan dinasti politik Kennedy di Amerika Serikat membuktikan bahwa dinasti politik tidak melulu identik dengan hal-hal negatif dalam kekuasaan. Segenap keluarga Kennedy berjuang demi bangsanya, bukan demi keluarganya.
Berikutnya di India, dinasti politik Mahatma Gandhi juga tidak kalah heroiknya. Sejumlah tokoh politik dinasti Gandhi harus meregang nyawa memperjuangkan kepentingan bangsanya. Maka yang terpenting, menurut Megawati, bukan soal hubungan kekeluargaan an sich yang harus diributkan, melainkan masyarakat harus lebih menyoroti kapabilitas seorang calon pemimpin secara langsung. (https://news.detik.com/berita/d-2391330/)
Memilih pemimpin daerah laksana kita memilih pasangan hidup. Sebab, kepala daerah mempunyai otoritas untuk mengeluarkan kebijakan publik yang akan berdampak bagi masyarakat. Kita mesti mencermati rekam jejak (track record) kandidat secara detail, tidak asal coblos. Jangan sampai kita tidak tahu sama sekali asal-usul sang calon. Jangan hanya percaya janji kampanye saja, tanpa menelaah rasionalitas kebenarannya. Terpilihnya seorang kepala daerah akan berpengaruh terhadap pelayanan publik dan pembangunan di daerah yang kita tinggali.
Mengutip falasafah Jawa kuno dalam memilih pemimpin layaknya memilih pasangan hidup hendaknya kita memperhatikan bibit, bebet dan bobot. Bibit, meliputi silsilah keturunan calon pemimpin. Asal-usul keluarga besarnya seperti apa. Apakah dari lingkungan keluarga baik-baik, terdidik, berbudaya dan beradab baik, agamis dan lain sebagainya.
Sementara Bebet bermakna lingkungan, dari mana calon pemimpin berasal. Lingkungan sangat mempengaruhi karakter dan perilaku seseorang. Karena itu harus ditelusuri, siapa teman-teman bergaulnya, di mana tempat aktivitas atau organisasi yang digelutinya. Dari sini bisa dilacak kemampuan dan bakatnya sebagai seorang pemimpin.
Berikutnya yang tidak kalah penting adalah Bobot, meliputi kompetensi, kapabilitas dan kepribadian calon pemimpin. Apakah dia sosok yang dermawan dan memiliki kepedulian. Mempunyai kapasitas kepemimpian, bertanggung jawab dan mampu menyelesaikan permasalahan (problem solver). Integritas dan kompetensi dapat dicermati dari kiprah sebelumnya ditengah masyarakat, bukan pada saat ini ketika sedang menebar citra untuk meraih simpati dan dukungan.
Kita sepakat proses demokrasi lokal yang memberi ruang kepada setiap warga untuk memilih langsung pemimpin dapat mendorong terciptanya good governance di setiap daerah. Konsep good governance adalah pendekatan untuk menjalankan institusi pemerintah daerah dengan mengedepankan prinsip partisipatif, akuntabel, transparan, responsif, efektif dan efesien, berkeadilan, inklusif dan taat aturan hukum.
Politik dinasti memang tidak menutup kemungkinan dapat melahirkan sosok pemimpin yang merakyat dan berkomitmen pada kesejahteraan masyarakat. Namun, jika proses rekruitmen calon pemimpin hanya mengandalkan politik dinasti tanpa mempertimbangkan integritas dan kapasitas seorang kandidat maka bisa menjadi bumerang demokrasi.**
Berikan ulasan