Bekasi — Polemik rumah jabatan Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono terus memanas setelah Pemkot Bekasi menyebut sudah ada dasar hukum melalui Keputusan Wali Kota Nomor 0001.10.1/Kep.156-Um/III/2025 dan Peraturan Wali Kota Nomor 14 Tahun 2025. Kedua regulasi itu disebut menjadi landasan penetapan rumah pribadi Tri di Kemang Pratama sebagai rumah jabatan sementara.
Namun, hingga kini dokumen tersebut belum tersedia di portal resmi JDIH Pemkot Bekasi. Publik pun bertanya-tanya: jika benar sudah terbit sejak Maret 2025, mengapa tidak dipublikasikan sejak awal?
Ketua Gerakan Pemuda Kota Bekasi, Farhan, menilai langkah Pemkot justru menimbulkan kecurigaan baru. “Kekuasaan memang bisa dengan mudah menerbitkan kepwal atau perwal. Tapi ingat, kewenangan itu seharusnya dipakai untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk menutupi sesuatu yang berpotensi melanggar hukum. Kalau digunakan untuk melegalkan hal yang salah, itu sama saja penyalahgunaan kewenangan,” ujarnya.
Farhan menegaskan, bila regulasi itu benar-benar terbit sejak Maret, mestinya polemik rumah jabatan tidak sampai gaduh di ruang publik. “Saya yakin teman-teman aktivis sudah punya data dan kajian sebelum bersuara. Kalau aturan itu benar ada, publik pasti sudah mengetahuinya. Fakta bahwa dokumen tersebut tidak muncul di website resmi JDIH Kota Bekasi, justru menimbulkan kesan kuat bahwa aturan ini dibuat belakangan atau sengaja disembunyikan hingga terjadi kisruh,” tegasnya.
Ia menambahkan, transparansi adalah fondasi utama dalam pengelolaan pemerintahan. “Ketika publik tidak bisa mengakses aturan yang dijadikan dasar, bagaimana bisa dipercaya? Pemerintah jangan bermain dengan persepsi. Setiap kebijakan yang berkaitan dengan APBD harus terbuka, tidak boleh samar-samar,” kata Farhan.
Lebih lanjut, Farhan mengingatkan agar Pemkot Bekasi tidak menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang. “Jangan sampai instrumen hukum justru dipakai untuk mengakali aturan. Kepwal dan perwal bukan alat untuk menutupi kekeliruan, tapi seharusnya jadi instrumen yang memperjelas tata kelola. Kalau malah dipakai sebagai tameng, itu mencederai akal sehat publik,” pungkasnya.
Berikan ulasan